Disebuah kampung di Kabupaten Sukabumi. Pukul 17.45 WIB sore
itu. Matahari di ufuk barat menyemburat warna emas, anak-anak berlarian menuju
rumahnya masing-masing setelah hampir seharian bermain menghabiskan masa
liburan sekolah. Samar-samar terlihat tiga orang sosok laki-laki tua tidak
kurang setengah abad usia rata-rata dari ketiganya. Mereka beriring menyusuri
jalan gang tembok yang mulai menampakkan guratan-guratan belah dan bolong. Wajar
saja jalan gang tersebut sudah lama sejak perbaikan, meskipun tidak terlalu
lama juga sesungguhnya. Hanya saja material pembangunnya bukan lah kualitas numero uno.
Selangkah demi selangkah jalan tersebut mereka lalui dengan bergegas. Suara-suara yang dihasilkan dari gesekan sandal dengan jalan yang
saling bersahutan seolah memberi irama harmoni untuk langkah-langkah mereka. Mungkin
inilah apa yang dimaksud oleh budayawan Sudjiwo Tedjo tentang suara gesekan
sandal dan aspal pria yang menuju Masjid.
Meskipun usia mereka sudah tidak muda lagi, tapi tidak
pernah tampak pada gerak langkahnya. Langkahnya begitu bersemangat, bergegas
tapi tidak tergesa-gesa. Jalanan mereka lalui dengan obrolan ringan dan canda
tawa. Sambil sesekali menyapa setiap orang yang mereka jumpai, bahkan jika yang
mereka temui adalah seorang laki-laki, dengan ramah mereka mengajaknya supaya
bisa secepatnya bersiap-siap untuk menuju Masjid melaksanakan shalat magrib
berjamaah. Iya, laki-laki memang seharusnya menunaikan ibadah shalatnya
berjamaah di Masjid terdekat.
Mereka bukan ahli agama, mereka tidak pernah menjadi imam
masjid. Bahkan untuk menjadi muadzin saja sepertinya mereka belum pernah. Ah,
terlalu mewah untuk menjadi muadzin, sekedar memegang mic- nya saja sepertinya sudah gemetaran. Mereka juga bukan
merupakan orang-orang istimewa di lingkungan tempat tinggal, tidak pernah
sekalipun ada warga yang sengaja datang untuk minta petuahnya. Mereka memang
sudah tua, tapi mereka juga tidak pernah menjadi sosok yang di-tua-kan.
Hanya saja salah satu hal yang membuat mereka begitu
istimewa (setidaknya bagiku) adalah sebuah konsistensi , disiplin waktu, bentuk
komitmen atas dua kalimah syahadat yang sudah terucap jauh hari sejak mereka
kecil. Yaitu shalat fardu berjamaah. Terutama untuk shalat maghrib, isya dan
shubuh. Konsisten, dengan selalu tiba di Masjid beberapa saat sebelum adzan
berkumandang. Mereka melakukannya dengan suka cita wajah mereka memancarkan
kedamaian dan kebahagiaan. Hujan bukanlah alasan untuk tidak berangkat ke
masjid.
Melihat mereka hanya membuat diri ini semakin kerdil. Tidak secuil-cuilnya
dibanding mereka. Mereka yang bisa mendapatkan kedamaian dan kebahagiaan, buah
dari manisnya beribadah ditengah-tengah gempuran berita dari media-media yang
tidak bosan-bosannya membuat diri ini menahan nafas sejenak dan mengelus dada.
Orang-orang yang rumahnya senantisa dilalui oleh mereka
bertiga ini pastilah mengakui akan konsistensi ibadah mereka. Dengan bahasanya
masing-masing atas gambaran mereka bertiga. Diantara nya ada sebutan tiga
sekawan, sahabat sampai syurga, para pencari Tuhan dan lain sebagainya. Tentunya
ungkapan-ungkapan lain dengan nada yang positive.
Special Thanks atas inspirasinya Mbah Bro,
Mbah Kama
Mbah Turi
Mbah Sahna
Semoga panjang umur, sehat selalu dan yang lebih utama
semoga segala ibadah hari ini bisa menjadi pemberat timbangan amal kebaikan di
akhirat dan bisa ber-reuni di Syurga-Nya kelak. amin